Jumat, 30 Desember 2011

Dandelion dan Edelweis

Kawan, apa kalian tahu bunga dandelion dan edelweis? Ya. Mereka memang jenis bunga liar. Tumbuh bebas, tak terurus. Tapi merekalah yang aku jadikan contoh untuk mebuat aku terus semangat dan terus berjuang untuk hidup.
Aku ingin seperti mereka. Seperti edelweis yang selalu abadi meski ia telah dipetik. Seperti dandelion yang kuat, yang tetap bertahan hidup meski ia di injak, meski ia tumbuh ditempat yang gersang. Mungkin bagi banyak orang mereka bukanlah bunga yang menarik. Tumbuh diantara rerumputan liar, di celah antar batu-batu,tanpa mahkota indah yang bisa menarik kumbang untuk hinggap. Namun bagikku mereka adalah inspirasi. Bunga-bunga itu menginspirasiku agar kuat dan tegar dalam menjalani hidup. Mungkin bentuknya tak semenarik mawar ataupun anggrek, dan tak seharum melati tapi mereka adalah bunga yang penuh ketegaran dan keabadian. Sungguh, aku ingin seperti mereka.
Kawan, namaku Dinda. Aku gadis biasa berusia 16 tahun. Sama seperti gadis lain, saat ini aku juga sedang mengeyam pendidikan SMA. Namun, aku adalah sosok yang luar biasa aktif, sangat amat tak bisa diam. Aku juga tumbuh dalam keluarga yang sangat hangat, yang sangat aku sayangi. Ayah, bunda dan adikku. Merekalah orang-orang yang sangat aku cinta.
Aku menjalani masa-masa remajaku secara biasa sekalipun kondisiku tak biasa. Ya Allah mengujiku lewat penyakit yang bersemayam ditubuh ini. Beberapa bulan belakangan, aku sering merasa pusing teramat sangat. Bahkan tak jarang aku jatuh pingsan. Selain itu, aku juga jadi sering mimisan. Hingga dua bulan lalu, karena kondisiku makin buruk, ayah dan bunda mengajakku melakukan tes darah disebuah Rumah Sakit dikotaku. Awalnya aku bersikeras tak mau pergi, aku merasa aku baik-baik saja, paling aku hanya terlalu letih dengan kegiatan sekolah yang padat dan tugas yang sangat amat menyita waktu dan tenagaku. Selain itu, aku tidak menyukai rumah sakit. Itu tempat paling mengerikan bagiku. Tempat dengan bau obat yang menusuk, jeritan kesakitan para pasien, bau anyir darah dan sebenarnya aku takut jarum suntik. Tapi, akhirnya aku berangkat kesana juga dengan penuh paksaan. Setelah dipikir-pikir tak ada salahnya cek darah.
Sampai dirumah sakit, aku menutup hidung rapat-rapat. Aku tak mau muntah ditempat itu meskipun bau menyengat obat-obatan membuatku mual. Beruntung ayah telah membuat janji dengan dokter yang akan mengecek aku jadi, aku tak perlu berlama-lama menunggu. Akupun masuk keruang periksa itu.
“ Kelas berapa dek?” Tanya Dokter yang setelah aku tanya bernama Edelweis, padaku. Sungguh, aku sempat bengong melihatnya. Itu nama salah satu bunga yang aku suka.
“ Kelas 2 SMA dok. Hmm, nama dokter bagus. Aku suka bunga edelweis juga dandelion. Mereka bunga yang hebat. Dan nama Edelweis cocok untuk seorang dokter baik hati yang cantik,”
“ Terima kasih sayang, aku juga suka edelweiss dan dandelion. Kau juga cantik, secantik dandelion,”
Kata-katanya membuatku melambung sesaat sebelum akhirnya aku berteriak.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaa ngaaaaaaak mauuuu!!!,” Aku berteriak sekencang mungkin.
“ Kenapa sayang? Ngga sakit kok, cuma kaya digigit semut,”
Oh Ya Allah, tak usah hingga jarum ini tertusuk menembus kulitku, melihatnya saja aku sudah lemas.
“ Lagian apanya yang kaya digigit semut sih? Berasa diterkam harimau bener,” Batinku.
Akhirnya dengan segala keberanian, aku biarkan jarum itu menusuk kulitku, menyedot sedikit darahku untuk diteliti, lalu ditarik perlahan dari kulitku. Lalu setelah perjuangan itu, akan membekas rasa “cekot-cekot” pada bekas suntikan dilenganku. Kali ini demi mengetahui kondisiku yang sebenarnya.
***
Kawan, aku tak tahu harus bagaimana. Seminggu kemudian hasil tes keluar. Hari itu juga rumahku dibanjiri tangis bunda. Dari hasil itu, aku dinyatakan mengidap KANKER DARAH STADIUM 4. Ya Allah, ini ujian darimu. Aku yakin kau memberi yang terbaik untukku. Aku yakin ada yang ingin kau sampaikan lewat cobaan ini untukku. Aku menerimanya dengan ikhlas Ya Allah.
Aku berusaha untuk terus kuat dan tegar seperti dandelion. Aku ingin bahagia dan tawaku ini abadi seperti edelweis. Ya Allah, beri aku kekuatan. Beri aku ketegaran. Jangan biarkan sedih dan pilu menyelimuti keluargaku. Aku ingin sakitku ini tak menjadi beban bagi semua orang disekitarku. Aku ingin tetap melihat senyum ayah dan bunda, tetap bisa melihat gelak tawa adikku. Aku ingin, diumurku yang mungkin tak akan lama lagi.
***
Pagi ini, saat sahur aku melihat mata bunda sembab. Sepertinya ia menangis lagi semalam.
“ Bunda abis nangis ya? Kok matanya sembab banget gitu” Tanyaku.
“ Enggak kok, kurang tidur aja. Gimana tidur kamu tadi malam? Nyenyak?”
Aku tahu bunda berbohong dan bunda sedang berusaha mengalihkan pembicaraan.
“ Bunda nggak usah bohong deh. Bunda abis nangis lagi kan? Nangisin apa? Nangisin nasib Dinda lagi? Bun, udah dong, ini udah takdir, Dinda ikhlas kok nerimanya, bunda nggak usah nangis, Dinda nggak suka, Dinda mau bunda tertawa buat Dinda, Dinda ngga mau liat bunda sedih, itu sama aja bikin Dinda patah semangat,”
Tangis bunda justru menjadi. Bunda memeluku haru. Adikku yang baru bangun juga langsung menghambur memeluku.
“ Bunda nggak mau kehilangan kamu, bunda sayang sama kamu, sangat sayang,”
“ Kakak harus kuat, kakak harus sembuh, aku mau kaya kakak, pinter, baik, sabar dan solehah,”
“ Aku juga sayang kalian semua, sangat sayang, aku nggak akan kemana-mana, aku akan terus berada disini bersama kalian. Aku akan abadi seperti edelweis dan akan kuat seperti dandelion. Aku akan terus semangat. Aku mau terus melihat tawa kalian, terus merasakan kasih dari kalian,”
Jujur, aku merasa beban ini terlalu berat. Terlalu tiba-tiba. Tapi, aku yakin aku pasti bisa melewatinya.
“ Ya Allah, aku tahu ini takdir yang harus aku jalani, aku terima semua ini dengan ikhlas, maka mudahkanlah semua ini, biarlah aku yang menderita, aku tak mau ada kesedihan pada diri orang-orang yang aku sayang,” Aku berdoa dalam hati.
Aku merasa beruntung dengan apa yang Allah beri padaku. Penyakit ini sungguh tak seberapa sakit, bahkan nyaris tak terasa. Allah mendengar doaku, ia memudahkan segalanya. Ia membuatku sekuat dandelion dan membuatku merasakan kebahagian abadi seabadi edelweis. Ia Maha Adil, dibalik cobaan ini, ia karuniakan banyak hal indah padaku. Bagiku, apa yang aku dapat didunia ini sudah cukup. Sekarang aku hanya harus membahagiakan orang-orang yang aku sayangi selagi aku masih bisa.
“ Ya Allah, aku siap kembali dalam rengkuhan-Mu kapanpun itu. Tapi izinkan aku mengukir kebahagian pada diri mereka yang aku sayang sebelum aku pergi. Izinkan aku menjadi abadi dihati mereka seperti keabadian edelweis dan kuatkan selalu mereka, seperti Engkau menguatkan dandelion. Bagiku, apa yang Engkau beri untukku didunia sudah lebih dari cukup,”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar